Minggu, 23 Februari 2020

KAMPUS MERDEKA (MENDIKBUD NADIEM MAKARIM)


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim meluncurkan kebijakan Merdeka Belajar yang ditujukan bagi pendidikan tinggi bertajuk Kampus Merdeka. Kebijakan Kampus Merdeka ini merupakan kelanjutan dari konsep Merdeka Belajar. Pelaksanaannya paling memungkinkan untuk segera dilangsungkan, hanya mengubah peraturan menteri, tidak sampai mengubah Peraturan Pemerintah ataupun Undang-Undang.
Mendikbud menerangkan bahwa paket kebijakan Kampus Merdeka ini menjadi langkah awal dari rangkaian kebijakan untuk perguruan tinggi. Kampus Merdeka mengusung empat kebijakan di lingkup perguruan tinggi yaitu sebagai berikut:
1.    Sistem akreditasi perguruan tinggi Dalam program Kampus Merdeka, program re-akreditasi bersifat otomatis untuk seluruh peringkat dan bersifat sukarela bagi perguruan tinggi dan prodi yang sudah siap naik peringkat. Akreditasi yang sudah ditetapkan Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tetap berlaku selama 5 tahun namun akan diperbaharui secara otomatis. Pengajuan re-akreditasi PT dan prodi dibatasi paling cepat 2 tahun setelah mendapatkan akreditasi yang terakhir kali. Untuk perguruan tinggi yang berakreditasi B dan C bisa mengajukan peningkatan "Nanti, Akreditasi A pun akan diberikan kepada perguruan tinggi yang berhasil mendapatkan akreditasi internasional. Daftar akreditasi internasional yang diakui akan ditetapkan dengan Keputusan Menteri," tambah Nadiem. Evaluasi akreditasi akan dilakukan BAN-PT jika ditemukan penurunan kualitas meliputi pengaduan masyarakat dengan disertai bukti konkret, serta penurunan tajam jumlah mahasiswa baru yang mendaftar dan lulus dari prodi ataupun perguruan tinggi.
2.    Hak belajar tiga semester di luar prodi Kampus Merdeka yang kedua memberikan hak kepada mahasiswa untuk mengambil mata kuliah di luar prodi dan melakukan perubahan definisi Satuan Kredit Semester (SKS). " Perguruan tinggi wajib memberikan hak bagi mahasiswa untuk secara sukarela, jadi mahasiswa boleh mengambil ataupun tidak SKS di luar kampusnya sebanyak dua semester atau setara dengan 40 SKS. Mahasiswa juga dapat mengambil SKS di prodi lain di dalam kampusnya sebanyak satu semester dari total semester yang harus ditempuh. Ini tidak berlaku untuk prodi kesehatan. Nadiem menilai saat ini bobot SKS untuk kegiatan pembelajaran di luar kelas sangat kecil dan tidak mendorong mahasiswa untuk mencari pengalaman baru, terlebih di banyak kampus, pertukaran pelajar atau praktik kerja justru menunda kelulusan mahasiswa. Lebih lanjut, Mendikbud menjelaskan terdapat perubahan pengertian mengenai SKS. Setiap SKS diartikan sebagai 'jam kegiatan', bukan lagi 'jam belajar'. Kegiatan di sini berarti belajar di kelas, magang atau praktik kerja di industri atau organisasi, pertukaran pelajar, pengabdian masyarakat, wirausaha, riset, studi independen, maupun kegiatan mengajar di daerah terpencil. "Setiap kegiatan yang dipilih mahasiswa harus dibimbing oleh seorang dosen yang ditentukan kampusnya. Daftar kegiatan yang dapat diambil oleh mahasiswa dapat dipilih dari program yang ditentukan pemerintah dan/atau program yang disetujui oleh rektornya.
3.    Pembukaan prodi baru Program Kampus Merdeka memberikan otonomi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Swasta (PTS) untuk melakukan pembukaan atau pendirian program studi (prodi) baru. Otonomi diberikan jika PTN dan PTS tersebut sudah memiliki akreditasi A dan B, dan telah melakukan kerja sama dengan organisasi dan/atau universitas yang masuk dalam QS Top 100 World Universities. Pengecualian berlaku untuk prodi kesehatan dan pendidikan. Seluruh prodi baru akan otomatis mendapatkan akreditasi C. Kerja sama dengan organisasi akan mencakup penyusunan kurikulum, praktik kerja atau magang, dan penempatan kerja bagi para mahasiswa. Kemudian Kemendikbud akan bekerja sama dengan perguruan tinggi dan mitra prodi untuk melakukan pengawasan. Tracer study wajib dilakukan setiap tahun.
4.    Kemudahan menjadi PTN-BH Kebijakan Kampus Merdeka yang ketiga terkait kebebasan bagi PTN Badan Layanan Umum (BLU) dan Satuan Kerja (Satker) untuk menjadi PTN Badan Hukum (PTN BH). Kemendikbud akan mempermudah persyaratan PTN BLU dan Satker untuk menjadi PTN BH tanpa terikat status akreditasi. beberapa keunggulan yang didapatkan PTN-BH dibanding PTN dengan status lain. Berbeda dengan PTN dengan status Satker, PTN-BH bisa leluasa bermitra dengan industri, termasuk melakukan proyek komersial. Dari segi pengaturan keuangan, PTN dengan status Satker juga memiliki pengaturan keuangan yang begitu detail dan tidak bisa melakukan perubahan secara cepat. Sulit untuk (PTN) Satker untuk meng-hire dosen non-PNS, BLU (dan) Satker tidak diberikan kepemilikan terhadap aset, sehingga tidak bisa dimanfaatkan. Contoh untuk mengambil peminjaman, ketiga keluasan mengembangkan akademik-non-akademik.

Sumber Bacaan


Jumat, 14 Februari 2020

A POSTERIORI PADA MATEMATIKA SEKOLAH


Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesatnya memberikan dampak pada perubahan tuntutan hidup masyarakat. Sehingga dibutuhkan kemampuan untuk dapat beradaptasi secara cepat dan mengubah pola pikir yang lebih maju. Pola pikir dapat terbentuk dengan mempelajari matematika. Oleh karena itu untuk mempersiapkan generasi yang akan datang supaya memiliki pola pikir yang lebih maju maka di setiap jenjang pendidikan dimasukkan matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib.
Matematika sekolah adalah matematika yang diajarkan di sekolah, yaitu matematika yang diajarkan di pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Matematika sekolah tersebut terdiri atas bagian-bagian matematika yang dipilih guna menumbuhkembangkan kemampuan-kemampuan dan membentuk pribadi serta berpandu pada IPTEK (Suherman, 2001). Pendapat lain mengemukakan bahwa matematika sekolah dipandang sebagai kumpulan aturan-aturan yang harus dimengerti, perhitungan-perhitungan aritmatika, persamaan aljabar yang misterius, dan bukti-bukti geometris, sebagai konsekuensinya, matematika lebih cocok apabila diajarkan dengan mengacu kepada behaviorisme (Subanji, 2011).
Matematika diajarkan di sekolah membawa misi yang sangat penting, yaitu mendukung ketercapaian tujuan pendidikan nasional. Secara umum tujuan pendidikan matematika di sekolah dapat digolongkan menjadi dua (Ekawati, 2011):
1.    Tujuan yang bersifat formal, menekankan kepada menata penalaran dan membentuk kepribadian siswa.
2.    Tujuan yang bersifat material menekankan kepada kemampuan memecahkan masalah dan menerapkan matematika.
Sesuai dengan tujuan diberikannya matematika di sekolah, dapat dilihat bahwa matematika sekolah memegang  peranan sangat penting bagi siswa yaitu supaya mempunyai bekal pengetahuan dan untuk pembentukan sikap serta pola pikirnya, supaya dapat hidup layak, untuk kemajuan negaranya, dan untuk matematika itu sendiri dalam rangka melestarikan dan mengembangkannya. Matematika diperlukan untuk memenuhi kebutuhan praktis dan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Ebbutt and Straker mengemukakan hakikat matematika sekolah (Marsigit, 2013) adalah:
1.    Matematika adalah kegiatan penelusuran pola atau hubungan.
2.    Matematika adalah kegiatan problem solving.
3.    Matematika adalah kegiatan investigasi.
4.    Matematika adalah komunikasi.
Keempat hal tersebut dipandang sebagai alternatif agar matematika di sekolah tampak lebih ramah dan menyenangkan bagi diri siswa. Sehingga tidak ada lagi kecemasan siswa dalam mempelajari matematika. selain hakikat matematika sekolah, hal lain yang perlu diketahui adalah fungsi dari matematika itu senidiri.
Fungsi matematika adalah sebagai media atau sarana siswa dalam mencapai kompetensi. Dengan mempelajari materi matematika diharapkan siswa akan dapat menguasai seperangkat kompetensi yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, penguasaan materi matematika bukanlah tujuan akhir dari pembelajaran matematika, akan tetapi penguasaan materi matematika hanyalah jalan mencapai penguasaan kompetensi. Fungsi lain mata pelajaran matematika sebagai: alat, pola pikir, dan ilmu atau pengetahuan. Ketiga fungsi matematika tersebut hendaknya dijadikan acuan dalam pembelajaran matematika sekolah.
Dengan mengetahui ketiga fungsi tersebut para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki dari sekumpulan objek (abstraksi). Dengan pengamatan terhadap contoh-contoh diharapkan siswa mampu menangkap pengertian suatu konsep. Selanjutnya dengan abstraksi ini, siswa dilatih untuk membuat perkiraan, terkaan, atau kecenderungan berdasarkan kepada pengalaman atau pengetahuan yang dikembangkan melalui contoh-contoh khusus (generalisasi) (Ekawati, 2011).
Siswa yang berada pada tingkat pendidikan dasar dan menengah akan lebih mudah dalam mempelajari matematika melalui pengalaman yang telah mereka peroleh. Hal ini berarti bahwa pengetahuan yang mereka dapatkan bersumber dari pengalaman atau yang disebut dengan a posteriori. Konsep a posteriori adalah konsep yang tidak dapat dipahami secara terpisah dari pengalaman tertentu. Karena sumbernya adalah pengalaman, maka konsep a oposteriori berlaku pada matematika sekolah. Dimana siswa belajar matematika berdasarkan pengalaman mereka. Dimulai dari hal-hal yang bersifat konkrit dan dapat dilihat atau disentuh secara nyata. Selain itu belajar berdasarkan kenyataan yang terjadi pada kehidupan sehari-siswa atau  lingkungan sekitar siswa. Dengan demikian matematika yang mereka pelajari di sekolah akan mudah diterima dengan baik dan menjadi lebih bermakna.

Sumber Bacaan

Ekawati, Estina. (2011). Peran, Fungsi, Tujuan, dan Karakteristik Matematika Sekolah. Yogyakarta: PPPPTK Matematika. Di akses https://p4tkmatematika.org/2011/10/peran-fungsi-tujuan-dan-karakteristik-matematika-sekolah/

Marsigit. (2013). Elegi Pemberontakan Pendidikan Matematika 9: School Mathematics. https://powermathematics.blogspot.com/2010/09/elegi-pemberontakan-pendidikan_5936.html

Subanji. (2011). Matematika Sekolah dan Pembelajarannya. J-TEQIP, edisi Tahun II, No. 1.

Suherman. E. (2001). Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA.


Selasa, 11 Februari 2020

PERAN ETNOMATEMATIKA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH


Pembelajaran merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dalam rangka membangun interaksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan sumber belajar, dan siswa dengan lingkungan belajarnya (Daryanto, 2014). Dalam hal ini guru dan siswa mempunyai peran masing-masing supaya tujuan pembelajaran dapat terwujud. Guru berperan sebagai fasilitator sedangkan siswa berperan dalam mengkonstruk pengetahuannya sendiri sehingga akan terjadi suatu proses perolehan ilmu dan pengetahuan. Banyak ilmu dan pengetahuan yang harus dikuasai oleh siswa melalui pembelajaran, salah satunya adalah matematika.
Matematika  merupakan  ilmu  yang secara umum mendasari  perkembangan teknologi  modern serta mempunyai  peran  penting  dalam  berbagai  disiplin  ilmu dan dalam memajukan  daya  pikir  manusia  (Permendiknas No.  22  Tahun  2006). Matematika merupakan ilmu yang penting dalam menunjang kehidupan dan kegiatan manusia sehari-hari. Sesuai dengan pendapat (Freudenthal, 1991) bahwa matematika merupakan aktivitas manusia dan harus dikaitkan dengan realitas. Sehingga matematika merupakan suatu proses yang dibangun oleh siswa yang dimulai dari pembelajaran matematika, kemudian dilanjutkan dengan implementasinya dalam kehidupan siswa sehari-hari. Pembelajaran  matematika  merupakan  proses  dimana  siswa  secara  aktif mengkonstruksi  pengetahuan  matematika (Fitri, 2014). Konstruksi pengetahuan akan lebih mudah jika berangkat dari pengalaman nyata yang dekat dengan siswa, terkait dengan realitas, mudah dibayangkan (imagineable), berwujud suatu kegiatan dan kebiasaan yang sering dilakukan di lingkungan atau daerah sekitarnya. Dengan memberikan konten yang relevan dan bermakna dapat memberikan kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan dan mengintegrasikan pembelajaran mereka dalam konteks yang lebih besar (Rathburn, 2015).
Proses belajar dengan mengkonstruk pengetahuannya sendiri akan lebih bermakna apabila dalam proses pembelajaran matematika mengkaitkan dengan budaya yang ada di sekitar siswa (Peni, 2019). Dengan mengintegrasikan budaya ke dalam mata pelajaran matematika, diharapkan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan membantu siswa untuk meningkatkan pemahaman mereka dalam belajar matematika. Keterampilan matematika yang dipelajari siswa di sekolah tidak dibangun secara logis berdasarkan pada struktur kognitif abstrak, melainkan dibentuk dari kombinasi pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh sebelumnya dan input budaya baru (Rosa & Clark, 2011). Matematika merupakan hasil refleksi pemikiran manusia, matematika dapat dikatakan sebagai hasil akal (budi) dan usaha (daya) manusia. Bishop (Ernest, 2013) menegaskan bahwa matematika dipandang sebagai produk budaya yang dikembangkan melalui berbagai aktivitas, seperti menghitung, menempatkan, mengukur, merancang, bermain, dan menjelaskan. Setiap orang dalam keseharian disadari atau tidak melakukan aktivitas tersebut, lebih jauh dapat dikatakan bawa matematika dekat dengan kehidupan sehari-hari. Aktivitas tersebut merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh setiap orang. Dengan demikian matematika sebagai pengetahuan budaya diturunkan dari aktivitas tersebut dalam satu cara tertentu (sikap) sadar dan terus menerus.
Matematika sangat erat kaitannya dengan budaya, hubungan antar keduanya lebih dikenal dengan etnomatematika. Etnomatematika ditempatkan sebagai bentuk set persimpangan antara antropologi budaya dan matematika institusional dan menggunakan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah dunia nyata dan menerjemahkannya ke dalam sistem bahasa matematika modern (Rosa & Orey, 2013). Barton menyatakan bahwa dalam konsepsi ini, etnomatematematika adalah program yang menyelidiki cara-cara di mana kelompok budaya yang berbeda memahami, mengartikulasikan, dan menerapkan konsep dan praktik yang dapat diidentifikasi sebagai praktik matematika (Rosa & Clark, 2011).
Peran etnomatematika dalam pembelajaran matematika di sekolah diantaranya adalah etnomatematika berperan dalam pengajaran geometri dengan cara mengintegrasikan etnomatematika ke dalam pembelajaran geometri (Sunzuma & Maharaj, 2019). Penelitian Achor et al menemukan bahwa etnomatematika terbukti menjadi pendekatan yang layak dalam memperkenalkan pembelajaran yang bermakna (Sunzuma & Maharaj, 2019). Hal ini mungkin karena siswa yang diajarkan dengan pendekatan etnomatik mampu menghubungkan praktik budaya dalam masyarakat mereka dengan pembelajaran. Ini menyiratkan bahwa pendekatan etnomatematika mungkin membantu dalam mengurangi sifat abstrak dari pengajaran dan pembelajaran geometri. Selain itu etnomatematika berperan dalam pengajaran materi pola bilangan. Dalam hal ini siswa dapat mengamati bentuk-bentuk yang ada pada motif batik yang kemudian digunakan dalam pembelajaran matematika materi pola bilangan (Astuti, Purwoko, & Sintiya, 2019). Peran etnomatematika yang lain dalam pembelajaran matematika adalah bermanfaat dalam pembelajaran materi operasi bilangan, kesebangunan, kekongruenan, perbandingan bilangan, dan relasi (Risdiyanti & Prahmana, 2018). Etnomatematika berperan dalam melatih keterampilan berhitung siswa (Febriyanti, Kencanawaty, & Irawan, 2019).

Sumber Bacaan

Astuti, E. P., Purwoko, R. Y., & Sintiya, M. W. (2019). BENTUK ETNOMATEMATIKA PADA BATIK ADIPURWO DALAM PEMBELAJARAN POLA BILANGAN. JOURNAL of MATHEMATICS SCIENCE and EDUCATION. https://doi.org/10.31540/jmse.v1i2.273

Daryanto. (2014). Pendekatan Pembelajaran Saintifik Kurikulum 2013. Yogyakarta: Penerbit Gava Media.

Depdiknas. (2006). Permendiknas No 22 Tahun 2006 Tentang Standar Isi. Jakarta: Depdiknas.

Ernest, P. (2013). The philosophy of mathematics education. In The Philosophy of Mathematics Education. https://doi.org/10.4324/9780203058923

Febriyanti, C., Kencanawaty, G., & Irawan, A. (2019). ETNOMATEMATIKA PERMAINAN KELERENG. MaPan. https://doi.org/10.24252/mapan.2019v7n1a3

Fitri, Rahman. Penerapan  Strategi  The  Firing  Line  pada  Pembelajaran  Matematika Siswa Kelas XI IPS SMA  Negeri 1 Batiputih. Kolaka: Jurnal Pendidikan  matematika  UNP Vol. 3 No. 1, 2014 hal 18

Freudenthal, H. (1991). Revisiting mathematics education. China Lectures, Dordrecht Kluwer Academic Publishers.

Peni, N. R. (2019). Development Framework of Ethnomathematics Curriculum through Realistic Mathematics Education Approach. IOSR Journal of Research & Method in Education (IOSR-JRME), 9(4), 16–24. https://doi.org/10.9790/1959-0904011624www.iosrjournals.org

Rathburn, M. K. (2015). Building Connections Through Contextualized Learning in an Undergraduate Course on Scientific and Mathematical Literacy. Georgia Educational Researcher, 9(1). https://doi.org/10.20429/ijsotl.2015.090111

Risdiyanti, I., & Prahmana, R. C. I. (2018). Etnomatematika: Eksplorasi dalam Permainan Tradisional Jawa. Journal of Medives : Journal of Mathematics Education IKIP Veteran Semarang. https://doi.org/10.31331/medives.v2i1.562

Rosa, M., & Clark, D. (2011). Ethnomathematics: the cultural aspects of mathematics. Revista Latinoamericana de Etnomatemática.

Rosa, M., & Orey, D. C. (2013). Ethnomodeling as a Research Theoretical Framework on Ethnomathematics and Mathematical Modeling. Journal of Urban Mathematics Education.

Sunzuma, G., & Maharaj, A. (2019). Teacher-related Challenges Affecting the Integration of Ethnomathematics Approaches into the Teaching of Geometry. Eurasia Journal of Mathematics, Science and Technology Education, 15(9). https://doi.org/10.29333/ejmste/108457