Unsur utama dalam
kehidupan manusia adalah pendidikan karena melalui pendidikan dapat mewujudkan
perilaku individu yang sesuai dengan norma-norma yang ada. Selain itu, pendidikan
dapat menumbuhkan budi pekerti dan pemikiran manusia sebagai wujud kebudayaan
yang beradab. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, hendaknya setiap individu
memiliki sikap dan perilaku yang menjunjung tinggi nilai-nilai yang terdapat
pada lingkungan sekitar. Hal inilah yang mencerminkan hakikat pendidikan karena
pada hakikatnya pendidikan merupakan proses pembentukan budaya. Orientasi pendidikan pada nilai-nilai
budaya diharapkan dapat membentuk perilaku individu sebagai anggota masyarakat
yang berbudaya dan menghargai budayanya sendiri. Jika pendidikan juga ditujukan
pada penguatan nilai budaya, program pendidikan yang diselenggarakan di sekolah
hendaknya selalu terintegrasi dengan pengembangan nilai-nilai budaya lokal, di antaranya melalui program pembelajaran pada
seluruh mata pelajaran termasuk pembelajaran matematika.
NCTM (2000) menyebutkan mengajar matematika yang efektif memerlukan
pemahaman tentang apa yang siswa ketahui sebelumnya dan perlukan untuk belajar
dan kemudian memberikan tantangan dan mendukung mereka untuk mempelajarinya
dengan baik. Khusus di SD, siswa SD terletak pada usia antara 7 – 13 tahun.
Menurut Piaget mereka berada pada fase operasional konkret. Berdasarkan fase
ini, Pembelajaran matematika di SD hendaknya diawali dengan sesuatu yang
konkret dan nyata serta dekat dengan kehidupan, pengetahuan dan pengalaman
siswa. Menurut Freudenthal (1991) matematika merupakan aktivitas insani (human activities) dan harus dikaitkan
dengan realitas. Freudenthal memandang matematika bukan sebagai suatu produk
jadi yang kita berikan kepada siswa, melainkan suatu proses yang dikonstruksi
oleh siswa. Konstruksi pengetahuan akan lebih mudah jika berangkat dari
pengalaman nyata yang dekat dengan siswa, terkait dengan realitas, mudah
dibayangkan (imagineable), berwujud
suatu kegiatan dan kebiasaan yang sering dilakukan di lingkungan atau daerah
sekitarnya. Dengan memberikan konten yang relevan dan bermakna dapat memberikan
kesempatan kepada siswa untuk merefleksikan dan mengintegrasikan pembelajaran
mereka dalam konteks yang lebih besar (Rathburn,
2015).
Proses belajar dengan mengkonstruk pengetahuannya sendiri akan lebih
bermakna apabila dalam proses pembelajaran matematika mengkaitkan dengan budaya
yang ada di sekitar siswa (Peni, 2019). Dengan mengintegrasikan budaya ke dalam
mata pelajaran matematika, diharapkan pembelajaran menjadi lebih bermakna dan
membantu siswa untuk meningkatkan pemahaman mereka dalam belajar matematika.
Matematika merupakan hasil refleksi pemikiran manusia, matematika dapat
dikatakan sebagai hasil akal (budi) dan usaha (daya) manusia. Bishop (Ernest, 2013) menegaskan bahwa matematika dipandang sebagai produk budaya yang
dikembangkan melalui berbagai aktivitas, seperti menghitung,
menempatkan, mengukur, merancang, bermain, dan menjelaskan. Setiap orang dalam
keseharian disadari atau tidak melakukan aktivitas tersebut, lebih jauh dapat
dikatakan bawa matematika dekat dengan kehidupan sehari-hari. Aktivitas
tersebut merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh setiap orang. Dengan
demikian matematika sebagai pengetahuan budaya diturunkan dari aktivitas
tersebut dalam satu cara tertentu (sikap) sadar dan terus menerus. Sehingga membawa pembelajaran
berbasis budaya ke dalam kurikulum
sangat penting.
Mengenai implementasi pengetahuan matematika di sekolah-sekolah dan
ruang kelas, guru harus sadar dengan kurikulum budaya-buta yang dimaksudkan,
multi-budaya di kelas dan guru sebagai antropolog sosial. Dan dalam hal
terakhir kurikulum yang dicapai, pengetahuan matematika harus sadar dengan
lingkungan peserta didik terkait dengan apa yang mereka pelajari di luar
sekolah dan budaya mereka. Beberapa hal penting untuk mengembangkan kurikulum termasuk
dalam mata pelajaran matematika adalah tujuan kurikulum matematika, standar isi
dan untuk pelengkap, bahan ajar untuk mendukung semua standar (Peni, 2019). Berbicara tentang matematika dengan budaya
maka di sinilah etnomatematika berperan.
Etnomatematika dalam pendidikan matematika dapat didefinisikan sebagai
studi tentang hubungan antara matematika dan budaya. (Rosa & Orey,
2013) menempatkan ethnomathematics sebagai bentuk set
persimpangan antara antropologi budaya dan matematika institusional dan
menggunakan pemodelan matematika untuk memecahkan masalah dunia nyata dan
menerjemahkannya ke dalam sistem bahasa matematika modern.
Ada lima prinsip pendekatan budaya terhadap kurikulum matematika oleh
Bishop: keterwakilan, formalitas, aksesibilitas, kekuatan penjelas, luas dan
dasar. Ini berarti bahwa (1) kurikulum harus mewakili budaya matematika, baik
dari segi teknologi simbolik dan nilai-nilai; (2) harus merealisasikan tingkat
formal budaya itu; (3) harus dapat diakses oleh semua anak; (4) harus
menekankan matematika sebagai penjelasan; dan yang terakhir (5) harus relatif
luas dan elementer daripada sempit dan menuntut konsepsinya (Peni, 2019).
Isu-isu budaya yang dimasukkan ke dalam pemebalajaran matematika dapat
membantu siswa dalam belajar matematika. Namun, setiap budaya memiliki ilmunya
sendiri, yang merupakan bagian dari warisan dan perjuangan untuk bertahan
hidup. Sehingga ilmu perlu digunakan untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam
pengembangan pendidikan, dengan memasukkannya ke dalam kurikulum sekolah (François, 2010). Menurut Rosa & Orey mengajar matematika menggunakan
budaya yang relevan dan pengalaman seseorang membantu siswa untuk mengetahui
lebih banyak kenyataan, budaya, masyarakat, isu yang berkaitan dengan
lingkungan dalam hubungannya dengan matematika dan pendekatan yang digunakan
akan membuat pembelajaran matematika berhasil. Integrasi etnomatematika ke
dalam kurikulum dianggap sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan (Rosa et al., 2016).
Sumber Bacaan
Ernest, P. (2013). The philosophy of mathematics
education. In The Philosophy of Mathematics Education.
https://doi.org/10.4324/9780203058923
François, K. (2010). the Role of Ethnomathematics Within
Mathematics Education. Proceedings of Cerme.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-12688-3
Freudenthal, H. (1991). Revisiting mathematics education.
China Lectures, Dordrecht Kluwer Academic Publishers.
NCTM. (2000). Principles and Standards for School
Mathematics. USA: NCTM.
Peni, N. R. (2019). Development Framework of Ethnomathematics
Curriculum through Realistic Mathematics Education Approach. IOSR Journal of
Research & Method in Education (IOSR-JRME), 9(4), 16–24.
https://doi.org/10.9790/1959-0904011624www.iosrjournals.org
Rathburn, M. K. (2015). Building Connections Through
Contextualized Learning in an Undergraduate Course on Scientific and
Mathematical Literacy. Georgia Educational Researcher, 9(1).
https://doi.org/10.20429/ijsotl.2015.090111
Rosa, M., D’Ambrosio, U., Orey, D. C., Shirley, L., Alangui,
W. V., Palhares, P., & Gavarrete, M. E. (2016). Current and Future
Perspectives of Ethnomathematics as a Program. In ICME-13 Topical Surveys.
https://doi.org/10.1007/978-3-319-30120-4
Rosa, M., & Orey, D. C. (2013). Ethnomodeling as a
Research Theoretical Framework on Ethnomathematics and Mathematical Modeling. Journal
of Urban Mathematics Education.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar