Senin, 27 April 2020

Mekanisme Pengembangan Kurikulum di Perguruan Tinggi

Pengambangan kurikulum dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK, kebutuhan, dan kebijakan terkini. Berikut dideskripsikan mekanisme pengembangan kurikulum dan pihak-pihak yang terlibat.
1.    Pembentukan Tim Pengembang Kurikulum.
2.    Peninjauan Kurikulum dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan perkembangan IPTEK dan kebijakan terkini, dalam hal ini KKNI dan SNPT. Peninjauan kurikulum dilakukan dengan melibatkan dosen, pengguna lulusan dan alumni melalui kegiatan penelusuran alumni (tracer study). Selanjutnya, tim merangkum hasil peninjauan yang dijadikan dasar untuk mengembangkan kurikulum baru.
3.    Tim menyusun draft Kurikulum yang merujuk pada hasil peninjauan kurikulum.
Secara rinci tahapan pengembangan kurikulum dijelaskan sebagai berikut.
1.    Merumuskan profil lulusan berdasarkan pada kesepakatan forum program studi sejenis, dalam hal ini Indonesian Mathematical Society (IndoMs), analisis perkembangan ilmu dan keahlian, serta analisis kebutuhan pasar dan analisis pemangku kepentingan, serta disesuaikan dengan visi, misi.
2.    Merumuskan capaian pembelajaran lulusan yang sesuai untuk membentuk profil lulusan yang telah ditentukan. Capaian pembelajaran lulusan mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan (umum dan khusus). Rumusan capaian pembelajaran sesuai dengan Pasal 5 Ayat 3 SNPT tahun 2015, mengacu pada deskripsi capaian pembelajaran lulusan KKNI dan memiliki kesetaraan dengan jenjang kualifikasi pada KKNI.
3.    Menentukan bahan kajian yang diperlukan untuk mencapai capaian pembelajaran yang telah ditentukan dengan memperhatikan keluasan, kedalaman, dan tingkat penguasaan mahasiswa. Bahan kajian ini dijadikan dasar untuk menentukan mata kuliah-mata kuliah beserta bobot sksnya.
4.    Menyusun deskripsi setiap mata kuliah.
5.    Menentukan strategi dan proses pembelajaran untuk mencapai capaian pembelajaran dengan memanfaatkan bahan kajian yang telah ditentukan.
6.    Menentukan dan mendeskripsikan penilaian pembelajaran untuk mengetahui ketercapaian capaian pembelajaran.
7.    Menentukan struktur kurikulum yaitu distribusi mata kuliah setiap semester. 
Kemudian untuk menyempurnakan rancangan kurikulum yang sudah dibuat, dilakukan evaluasi dan penyempurnaan terhadap dokumen kurikulum.
1.    Menyempurnakan draft kurikulum melalui kegiatan lokakarya yang diikuti oleh seluruh dosen dan menghadirkan pakar.
2.    Tim Pengembang Kurikulum menyempurnakan kurikulum berdasarkan saran dan masukan dari berbagai pihak.

3.    Mengajukan rancangan kurikulum dan selanjutnya disahkan.

COMPUTATIONAL THINKING SEBAGAI KOMPETENSI ABAD-21

    Perkembangan teknologi yang demikian pesat, sangat berpengaruh dalam perkembangan dunia pendidikan. Bagaimana tidak, kehidupan di abad ke-21 menuntut berbagai keterampilan yang harus dikuasai seseorang, sehingga diharapkan pendidikan dapat mempersiapkan siswa untuk menguasai berbagai keterampilan tersebut agar menjadi pribadi yang sukses dalam hidup. US-based Partnership for 21st Century Skills (P21), mengidentifikasi kompetensi yang diperlukan di abad ke-21 yaitu “The 4Cs”- communication, collaboration, critical thinking, dan creativity (Zubaidah, 2017). Kompetensi-kompetensi tersebut penting diajarkan pada siswa dalam konteks bidang studi inti dan tema abad ke-21.


Gambar 1. Kompetensi abad 21 “The 4Cs”
          Namun, sebenarnya keterampilan yang harus dimiliki siswa dalam menghadapi era ini tidak hanya 4C’s saja melainkan ada keterampilan lain yang terintegrasi ke dalam 4 keterampilan tersebut, yaitu Computational Thinking (CT). Computational Thinking is a fundamental skill for the twenty-first century workforce (Repenning, Basawapatna, & Escherle, 2017). Menurut Curzon, Black et al., pemikiran komputasi adalah keterampilan abad ke-21 (Mohaghegh & McCauley, 2016).
Istilah CT pertama kali diperkenalkan oleh Seymour Papert pada tahun 1980 dan 1996. Di tahun 2014, pemerintah Inggris memasukkan materi pemrograman kedalam kurikulum sekolah dasar dan menengah, tujuannya bukan untuk mencetak pekerja software (programmer) secara massif tetapi untuk mengenalkan Computational Thinking (CT) sejak dini kepada siswa.  Pemerintah Inggris percaya Computational Thinking (CT) dapat membuat siswa lebih cerdas dan membuat mereka lebih cepat memahami teknologi yang ada di sekitar mereka.
        Computational thinking is a fundamental skill for everybody, not just for computer scientists. To reading, writing, and arithmetic, we should add computational thinking to every child’s analytical ability. The disciplines of mathematics and computer science are closely related. Computational thinking has always been a part of math and math education (Moursund, 2006). CT adalah keterampilan dasar bagi semua orang, tidak hanya bagi para ilmuwan komputer. Untuk membaca, menulis, dan berhitung, kita harus menambahkan pemikiran komputasi untuk menganalisis setiap kemampuan anak. Pemikiran komputasi selalu menjadi bagian dari matematika dan pendidikan matematika. Sedangkan disiplin ilmu matematika dan komputer sangat terkait.
          Hampir semua disiplin ilmu sekarang telah dipengaruhi oleh pemikiran komputasi dalam beberapa cara, baik dalam sains dan humaniora. Ada banyak contoh pengaruh ini di banyak bidang - pembelajaran mesin telah mempengaruhi penerapan model grafis probabilistik di statistik, sangat meningkatkan pengenalan pola untuk set data yang diperluas (Machine Learning Department, 2008); dalam biologi, pemikiran komputasi telah maju urutan genom manusia (Fisher & Henzinger, 2007); bahkan dalam bidang-bidang seperti ekonomi, pemikiran komputasi telah memiliki pengaruh: lelang online, penempatan iklan, dan perbankan (Mohaghegh & McCauley, 2016).
               Wing’s (Doleck, Bazelais, Lemay, Saxena, & Basnet, 2017) defined computational thinking 
as ‘‘taking an approach to solving problems, designing systems and understanding human behavior 
that draws on concepts fundamental to computing”. Pendekatan untuk memecahkan masalah,
merancang sistem, dan memahami perilaku manusia yang mengacu pada konsep dasar komputasi.
Computational thinking is the thought processes involved in formulating problems so that their solutions are represented as computational steps and algorithms that can be effectively carried out by an information-processing agent (Denning, 2019). Pemikiran komputasi adalah proses berpikir yang terlibat dalam merumuskan masalah sehingga solusi mereka direpresentasikan sebagai langkah komputasi dan algoritma yang dapat secara efektif dilakukan oleh agen pemrosesan informasi.
               According to Yadav et al. computational thinking is the mental process for abstraction of 
problems and the creation of automatable solutions (Cansu & Cansu, 2019). Computational thinking 
adalah proses mental untuk mengabstraksi masalah dan penciptaan solusi.
Berdasarkan pendapat tersebut, CT adalah kemampuan dalam merancang sistem, merumuskan masalah, mengabstraksi masalah, dan adanya algoritma dalam penyelesaian masalah.
Adakah kaitan antara ilmu komputer dengan matematika?
Menurut Jaokar ilmu komputer mempunyai karakteristik yang sama dengan matematika, yaitu dalam hal pemecahan masalah (Mohaghegh & McCauley, 2016).
Perlukah membawa computational thinking ke dalam kelas matematika?
        Dari perspektif pedagogis, penggunaan alat dan keterampilan komputasi yang bijaksana dapat memperdalam pembelajaran matematika dan konten sains (Guzdial1994; Eisenberg2002; Dewan Riset Nasional2011a, b; Redish danWilson1993; Repenning et al.2010; Sengupta et al.2013; Sherin2001; Wilensky1995; Wilensky1995; Wilensky1995; et al.2014; Wilensky dan Reisman2006). Kebalikannya juga benar — yaitu bahwa sains dan matematika memberikan konteks yang bermakna (dan serangkaian masalah) di mana pemikiran komputasi dapat diterapkan (Hambrusch dkk.2009; Jona dkk.2014; Lin dkk.2009; Lin dkk.2009; Wilensky dkk.2014 )(Weintrop et al., 2014)(Weintrop et al., 2015).
           According to Wing, to reading, writing, and arithmetic, we should add computational thinking to every child’s analyticalability (Weintrop et al., 2015). Untuk membaca, menulis, dan berhitung, kita harus menambahkan pemikiran komputasi pada kemampuan analitis setiap anak.
Asosiasi Guru Ilmu Komputer (CSTA) menegaskan bahwa '' studi pemikiran komputasi memungkinkan semua siswa untuk membuat konsep, menganalisis, dan memecahkan masalah kompleks dengan lebih baik dengan memilih dan menerapkan strategi dan alat yang tepat, baik secara virtual maupun di dunia nyata '' (CSTA2011, p 9). Meskipun banyak upaya telah dilakukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang pemikiran komputasi, masih ada tantangan untuk diatasi, khususnya dalam hal membawa pemikiran komputasi ke sekolah. Tantangan-tantangan ini termasuk menentukan perkembangan dan kurikulum pembelajaran, menilai prestasi siswa, mempersiapkan guru, dan memastikan akses yang adil (Grover dan Pea2013) (Weintrop et al., 2016).
         CT is proposed to be a powerful cognitive skill that can have a positive impact on other areas of children’s intellectual growth^ (Horn et al. 2012, p. 380); therefore, according to Wing (2006), it should be added Btggo every child’s analytical ability^ (p. 33) (Kotsopoulos et al., 2017). CT diusulkan menjadi keterampilan kognitif yang kuat yang dapat memiliki dampak positif pada bidang lain dari pertumbuhan intelektual anak-anak oleh karena itu, menurut harus ditambahkan ke kemampuan analitik setiap anak.
           According to Wing’s, three Computational Thinking Process stages (Repenning et al., 2017):
1.    Problem formulation (abstraction): Perumusan masalah berusaha untuk membuat konsep masalah secara verbal.
2.    Solution expression (automation): Solusi perlu dinyatakan dengan cara yang tidak ambigu.
3.    Execution and evaluation (analysis): mengeksekusi solusi dengan cara yang menunjukkan konsekuensi langsung dari pemikiran seseorang.
     Computational thinking skills—decomposition, pattern generalization and abstraction, pattern recognition, algorithm design, data visualization (Wu & Richards, 2011). Keterampilan berpikir komputasi terdiri dari dekomposisi, pola generalisasi dan abstraksi, pengenalan pola, desain algoritma, dan visualisasi data.
          According to McNicholl (Cansu & Cansu, 2019) 4 basic strategies for computational thinking:
1.    Decomposition: Kemampuan memecah data, proses atau masalah (kompleks) menjadi  bagian-bagian yang lebih kecil atau menjadi tugas-tugas yang mudah dikelola. Memecah masalah dari masalah yang besar ke bagian-bagain kecil yang mampu dikelola dengan lebih mudah.
2.     Pattern Recognition : Kemampuan untuk melihat persamaan atau bahkan perbedaan pola, tren dan keteraturan dalam data yang nantinya akan digunakan dalam membuat prediksi dan penyajian data. Mengidentifikasi pola-pola yang serupa dan terjadi dalam sebuah masalah.
3.    Abstraksi: Melakukan generalisasi dan mengidentifikasi prinsip-prinsip umum yang menghasilkan pola, tren dan keteraturan tersebut. Melakukan generalisasi terhadap pembentukan pola, melihat karakteristik dasarnya, dan menyingkirkan detail yang tidak perlu.
4.    Algorithm Design: Mengembangkan petunjuk pemecahan masalah yang sama secara step-by-step, langkah demi langkah, tahapan demi tahapan sehingga orang lain dapat menggunakan langkah/informasi tersebut untuk menyelesaikan permasalahan yang sama. Membuat langkah-langkah runtut dalam menyelesaikan masalah.
          Pemikiran algoritma juga dapat dianggap sebagai pemikiran strategis, atau pemrosesan langkah demi langkah. Pemikiran algoritmik dalam penyelesaian masalah secara umum dapat sangat meningkatkan efisiensi, terutama ketika berhadapan dengan masalah yang sifatnya serupa, Curzon, Black et al.(Mohaghegh & McCauley, 2016).


Gambar 2. Basic strategies for computational thinking (McNicholl, 2018: p.37)

           Berdasarkan pendapat tersebut, maka strategi dasar dalam CT in math sebagai berikut:
1.    Decomposition: Kemampuan memecah masalah dari masalah yang besar ke bagian-bagain kecil yang      mampu dikelola dengan lebih mudah.
2.    Pattern Recognition: Kemampuan mengidentifikasi pola-pola yang serupa dan terjadi dalam sebuah masalah.
3.    Abstraksi: Melakukan generalisasi terhadap pembentukan pola dan melihat karakteristik dasarnya sehingga membuat masalah lebih mudah dipikirkan.
4.    Algorithm Design: Membuat langkah-langkah runtut dalam menyelesaikan masalah.


Referensi

Cansu, F. K., & Cansu, S. K. (2019). An Overview of Computational Thinking. International Journal of Computer Science Education in Schools, 3(1), 17. https://doi.org/10.21585/ijcses.v3i1.53

Denning, P. J. (2019). Computational Thinking in Science. In The Best Writing on Mathematics 2018. https://doi.org/10.2307/j.ctvc775mh.8

Doleck, T., Bazelais, P., Lemay, D. J., Saxena, A., & Basnet, R. B. (2017). Algorithmic thinking, cooperativity, creativity, critical thinking, and problem solving: exploring the relationship between computational thinking skills and academic performance. Journal of Computers in Education, 4(4), 355–369. https://doi.org/10.1007/s40692-017-0090-9

Kong, S.-C., & Abelson, H. (2019). Computational Thinking Education. Retrieved from https://link.springer.com/content/pdf/10.1007/978-981-13-6528-7.pdf

Kotsopoulos, D., Floyd, L., Khan, S., Namukasa, I. K., Somanath, S., Weber, J., & Yiu, C. (2017). A Pedagogical Framework for Computational Thinking. Digital Experiences in Mathematics Education, 3(2), 154–171. https://doi.org/10.1007/s40751-017-0031-2

Mohaghegh, D., & McCauley, M. (2016). Computational thinking : the skill set of the 21st century. 7(3), 1524–1530.

Moursund, D. (2006). Computational Thinking and Math Maturity : Improving Math Education in K-8 Schools. Computer Science Education, 1–108.

Repenning, A., Basawapatna, A. R., & Escherle, N. A. (2017). Emerging Research, Practice, and Policy on Computational Thinking. Emerging Research, Practice, and Policy on Computational Thinking, 291–305. https://doi.org/10.1007/978-3-319-52691-1

Weintrop, D., Beheshti, E., Horn, M., Orton, K., Jona, K., Trouille, L., & Wilensky, U. (2014). Defining Computational Thinking for Science, Technology, Engineering, and Math. Annual Meeting of the American Educational Research Association (AERA 2014), Philadelphia, USA. https://doi.org/10.1007/s10956-015-9581-5

Weintrop, D., Beheshti, E., Horn, M., Orton, K., Jona, K., Trouille, L., & Wilensky, U. (2015). Defining Computational Thinking for Mathematics and Science Classrooms. Journal of Science Education and Technology. https://doi.org/10.1007/s10956-015-9581-5

Weintrop, D., Beheshti, E., Horn, M., Orton, K., Jona, K., Trouille, L., & Wilensky, U. (2016). Defining Computational Thinking for Mathematics and Science Classrooms. Journal of Science Education and Technology. https://doi.org/10.1007/s10956-015-9581-5

Wu, M. L., & Richards, K. (2011). Facilitating computational thinking through game design. Lecture Notes in Computer Science (Including Subseries Lecture Notes in Artificial Intelligence and Lecture Notes in Bioinformatics), 6872 LNCS, 220–227. https://doi.org/10.1007/978-3-642-23456-9_39


Zubaidah, S. (2017). Keterampilan Abad Ke-21 : Keterampilan. ResearchGate.



Jumat, 24 April 2020

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN KURIKULUM

A.      Pendahuluan
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional. Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri,
Dalam pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti: politikus, pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur-unsur masyarakat lainnya yang merasa berkepentingan dengan pendidikan.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat dibandingkan perbedaan filosofi, visi, dan teori yang dianut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi, visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses deliberasi yang paling demokratis sekali pun. Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu terselesaikan maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi, visi, dan teori yang sejalan atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai konten kurikulum.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realita tersebut memang berposisi sebagai objek periferal dalam proses pengembangan kurikulum nasional. Posisi sebagai objek ini tidak menguntungkan karena ia seringkali diabaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum tetapi tetap tidak dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum. Padahal keragaman itu berpengaruh langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses dalam belajar serta mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil belajar. Artinya, keragaman itu menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum baik sebagai proses (curriculum as observed, curriculum as experienced, curriculum as implemented, curriculum as reality) tetapi juga kurikulum sebagai hasil.
Waring (dalam Cienurani, 2008) mengemukan posisi keragaman sebagai variabel bebas memang berada pada tataran sekolah dan masyarakat di mana suatu kurikulum dikembangkan dan diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang dapat diperkirakan (perceived needs of a society). Secara nyata pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggungjawab terhadap pengembangan kurikulum dan pada siswa yang menjalani kurikulum. Dengan perkataan lain, pengaruh tersebut berada pada tataran yang tak boleh diabaikan sama sekali di mana studi kurikulum memperlihatkan kerentanan, dan kemungkinan besar kurikulum berubah atau bahkan berbeda sama sekali dengan apa yang telah direncanakan dan diputuskan. Oleh karena itu, keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan aspirasi politik harus menjadi faktor yang diperhitungkan dan dipertimbangkan dalam sosialisasi kurikulum, dan pelaksanaan kurikulum
Berdasarkan uraian tersebut, maka timbul suatu permasalahan:  faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum? Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pengembangan kurikulum.

B.       Pengertian Kurikulum
Dalam pandangan klasik, lebih menekankan kurikulum dipandang sebagai rencana pelajaran di suatu sekolah. Pelajaran-pelajaran dan materi apa yang harus ditempuh di sekolah, itulah kurikulum. George A. Beauchamp (Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa : “A Curriculun is a written document which may contain many ingredients, but basically it is a plan for the education of pupils during their enrollment in given school”. Dalam pandangan modern, pengertian kurikulum lebih dianggap sebagai suatu pengalaman atau sesuatu yang nyata terjadi dalam proses pendidikan, seperti dikemukakan oleh Caswel dan Campbell (dalam Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa kurikulum … to be composed of all the experiences children have under the guidance of teachers. Dipertegas lagi oleh pemikiran Ronald C. Doll (Sudrajat, 2008) yang mengatakan bahwa : “ …the curriculum has changed from content of courses study and list of subject and courses to all experiences which are offered to learners under the auspices or direction of school.
Untuk mengakomodasi perbedaan pandangan tersebut, Hamid Hasan (Sudrajat, 2008) mengemukakan bahwa konsep kurikulum dapat ditinjau dalam empat dimensi, yaitu:
1.   kurikulum sebagai suatu ide; yang dihasilkan melalui teori-teori dan penelitian, khususnya dalam bidang kurikulum dan pendidikan.
2.   kurikulum sebagai suatu rencana tertulis, sebagai perwujudan dari kurikulum sebagai suatu ide; yang didalamnya memuat tentang tujuan, bahan, kegiatan, alat-alat, dan waktu.
3.   kurikulum sebagai suatu kegiatan, yang merupakan pelaksanaan dari kurikulum sebagai suatu rencana tertulis; dalam bentuk praktek pembelajaran.
4.   kurikulum sebagai suatu hasil yang merupakan konsekwensi dari kurikulum sebagai suatu kegiatan, dalam bentuk ketercapaian tujuan kurikulum yakni tercapainya perubahan perilaku atau kemampuan tertentu dari para peserta didik.
Sementara itu, Purwadi (dalam Sudrajat, 2008) memilah pengertian kurikulum menjadi enam bagian, yaitu :
1.   kurikulum sebagai ide
2.   kurikulum formal berupa dokumen yang dijadikan sebagai pedoman dan panduan dalam
melaksanakan kurikulum
3.    kurikulum menurut persepsi pengajar
4.   kurikulum operasional yang dilaksanakan atau dioprasional kan oleh pengajar di kelas
5.    kurikulum experience yakni kurikulum yang dialami oleh peserta didik
6.   kurikulum yang diperoleh dari penerapan kurikulum.
Dalam perspektif kebijakan pendidikab nasional sebagaimana dapat dilihat dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa: “Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.

C.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pegembangan Kurikulum
Dalam Sukmadinata (2006: 158), ada tiga faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, yaitu :
1.      Pergururan Tinggi
Perguruan tinggi setidaknya memberikan dua pengaruh terhadap kurikulum sekolah.
Pertama, dari segi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikembangkan diperguruan tinggi umum. Pengetahuan dan teknologi banyak memberikan sumbangan bagi isi kurikulum serta proses pembelajaran. Jenis pengetahuan yang dikembangkan di perguruan tinggi akan mempengaruhi isi pelajaran yang akan dikembangkan dalam kurikulum. Perkembangan teknologi selain menjadi isi kurikulum juga mendukung pengembangan alat bantu dan media pendidikan.
Kedua, dari segi pengembangan ilmu pendidikan dan keguruan serta penyiapan guru-guru Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK, seperti IKIP, FKIP, STKIP). Kurikulum Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan juga mempengaruhi pengembangan kurikulum, terutama melalui penguasaan ilmu dan kemampuan keguruan dari guru-guru yang dihasilkannya.
Pengusaan keilmuan, baik ilmu pendidikan maupun ilmu bidang studi serta kemampuan mengajar dari guru-guru akan sangat mempengaruhi pengembangan dan implementasi kurikulum di sekolah. Guru-guru yang mengajar pada berbagai jenjang dan jenis sekolah yang ada dewasa ni, umumnya disiapkan oleh LPTK melalui berbagai program, yaitu program diploma dan sarjana. Pada Sekolah Dasar masih banyak guru berlatar belakang pendidikan SPG dan SGO, tetapi secara berangsur-angsur mereka mengikuti peningkatan kompetensi dan kualifikasi pendidikan guru melalui program diploma dan sarjana.
2.      Masyarakat
Sekolah merupakan bagian dari masyarakat, yang diantaranya bertugas mempersiapkan anak didik untuk dapat hidup secara bermatabat di masyarakat. Sebagai bagian dan agen masyarakat, sekolah sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat di tempat sekolah tersebut berada. Isi kurikulum hendaknya mencerminkan kondisi masyarakat penggunanya serta upaya memenuhi kebutuhan dan tuntutan mereka.
Masyarakat yang ada di sekitar sekolah mungkin merupakan masyarakat yang homogen atau heterogen. Sekolah berkewajiban menyerap dan melayani aspirasi-aspirasi yang ada di masyarakat. Salah satu kekuatan yang ada dalam masyarakat adalah dunia usaha. Perkembangan dunia usaha yang ada di masyarkat akan mempengaruhi pengembangan kurikulum. Hal ini karena sekolah tidak hanya sekedar mempersiapkan anak untuk selesai sekolah, tetapi juga untuk dapat hidup, bekerja, dan berusaha. Jenis pekerjaan yang ada di masyarakat berimplikasi pada kurikulum yang dikembangkan dan digunakan sekolah.
3.      Sistem Nilai
Dalam kehidupan bermasyarakat terdapat sistem nilai, baik nilai moral, keagamaan, sosial, budaya maupun nilai politis. Sekolah sebagai lembaga masyarakat juga bertangung jawab dalam pemeliharaan dan pewarisan nilai-nilai positif yang tumbuh di masyarakat.
Sistem nilai yang akan dipelihara dan diteruskan tersebut harus terintegrasikan dalam kurikulum. Persoalannya bagi pengembang kurikulum ialah nilai yang ada di masyarakat itu tidak hanya satu. Masyarakat umumnya heterogen, terdiri dari berbagai kelompok etnis, kelompok vokasional, kelompok intelek, kelompok sosial, dan kelompok spritual keagamaan, yang masing-masing kelompok itu memiliki nilai khas dan tidak sama. Dalam masyarakat juga terdapat aspek-aspek sosial, ekonomi, politk, fisik, estetika, etika, religius, dan sebagainya. Aspek-aspek tersebut sering juga mengandung nilai-nilai yang berbeda.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengakomodasi pebagai nilai yang tumbuh di masyarakat dalam kurikulum sekolah, diantaranya:
a.   Mengetahui dan memperhatikan semua nilai yang ada dalam masyarakat
b.    Berpegang pada prinsip demokratis, etis, dan moral
c.    Berusaha menjadikan dirinya sebagai teladan yang patut ditiru
d.   Menghargai nlai-nilai kelompok lain
e.   Memahami dan menerima keragaman budaya yang ada
Berdasarkan analisis kami, bukan hanya 3 (tiga) faktor yang dikemukan oleh Sukmadinata (2006) saja, yang merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, tetapi masih ada faktor lain yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum. Salah satunya landasan pengembangan kurikulum itu sendiri. Landasan pengembangan kurikulum sangat mempengaruhi pengembangan kurikulum karena bila landasannya berupa maka akan mempengaruhi pengembangan kurikulum.
Berdasarkan analisis kami, maka faktor-faktor lain yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, diantaranya:
1.    Filosofis
Filsafat memegang peranan penting dalam pengembangan kuikulum. Sama halnya seperti dalam Filsafat Pendidikan, kita dikenalkan pada berbagai aliran filsafat, seperti: perenialisme, essensialisme, eksistesialisme, progresivisme, dan rekonstruktivisme. Dalam pengembangan kurikulum pun senantiasa berpijak pada aliran-aliran filsafat tertentu, sehingga akan mewarnai terhadap konsep dan implementasi kurikulum yang dikembangkan. Dengan merujuk kepada pemikiran Ella Yulaelawati (dalam Sudrajat, 2008), di bawah ini diuraikan tentang isi dari masing-masing aliran filsafat, kaitannya dengan pengembangan kurikulum.
a.        Perenialisme lebih menekankan pada keabadian, keidealan, kebenaran dan  keindahan dari pada warisan budaya dan dampak sosial tertentu. Pengetahuan dianggap lebih penting dan kurang memperhatikan kegiatan sehari-hari. Pendidikan yang menganut faham ini menekankan pada kebenaran absolut , kebenaran universal yang tidak terikat pada tempat dan waktu. Aliran ini lebih berorientasi ke masa lalu.
b.        Essensialisme menekankan pentingnya pewarisan budaya dan pemberian pengetahuan dan keterampilan pada peserta didik agar dapat menjadi anggota masyarakat yang berguna. Matematika, sains dan mata pelajaran lainnya dianggap sebagai dasar-dasar substansi kurikulum yang berharga untuk hidup di masyarakat. Sama halnya dengan perenialisme, essesialisme juga lebih berorientasi pada masa lalu.
c.         Eksistensialisme menekankan pada individu sebagai sumber pengetahuan tentang hidup dan makna. Untuk memahami kehidupan seseorang mesti memahami dirinya sendiri.
d.        Progresivisme menekankan pada pentingnya melayani perbedaan individual, berpusat pada peserta didik, variasi pengalaman belajar dan proses. Progresivisme merupakan landasan bagi pengembangan belajar peserta didik aktif.
e.        Rekonstruktivisme merupakan elaborasi lanjut dari aliran progresivisme. Pada rekonstruktivisme, peradaban manusia masa depan sangat ditekankan. Di samping menekankan tentang perbedaan individual seperti pada progresivisme, rekonstruktivisme lebih jauh menekankan tentang pemecahan masalah, berfikir kritis dan sejenisnya.
Aliran Filsafat Perenialisme, Essensialisme, Eksistensialisme merupakan aliran filsafat yang mendasari terhadap pengembangan Model Kurikulum Subjek-Akademis. Sedangkan, filsafat progresivisme memberikan dasar bagi pengembangan Model Kurikulum Pendidikan Pribadi. Sementara, filsafat rekonstruktivisme banyak diterapkan dalam pengembangan Model Kurikulum Interaksional.
Masing-masing aliran filsafat pasti memiliki kelemahan dan keunggulan tersendiri. Oleh karena itu, dalam praktek pengembangan kurikulum, penerapan aliran filsafat cenderung dilakukan secara selektif untuk lebih mengkompromikan dan mengakomodasikan berbagai kepentingan yang terkait dengan pendidikan. Meskipun demikian saat ini, pada beberapa negara dan khususnya di Indonesia, tampaknya mulai terjadi pergeseran landasan dalam pengembangan kurikulum, yaitu dengan lebih menitikberatkan pada filsafat rekonstruktivisme. Ini merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi pengembangan kurikulum (dari teacher center menjadistudent center).
2.     Psikologis
Sukmadinata (2006: 46) mengemukakan bahwa minimal terdapat dua bidang psikologi yang mendasari pengembangan kurikulum yaitu (1) psikologi perkembangan dan (2) psikologi belajar. Psikologi perkembangan merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu berkenaan dengan perkembangannya. Dalam psikologi perkembangan dikaji tentang hakekat perkembangan, pentahapan perkembangan, aspek-aspek perkembangan, tugas-tugas perkembangan individu, serta hal-hal lainnya yang berhubungan perkembangan individu, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan mendasari pengembangan kurikulum. Psikologi belajar merupakan ilmu yang mempelajari tentang perilaku individu dalam konteks belajar. Psikologi belajar mengkaji tentang hakekat belajar dan teori-teori belajar, serta berbagai aspek perilaku individu lainnya dalam belajar, yang semuanya dapat dijadikan sebagai bahan.
Selanjutnya, dikemukakan pula tentang 5 tipe kompetensi, yaitu :
a.        Motif; sesuatu yang dimiliki seseorang untuk berfikir secara konsisten atau keinginan untuk melakukan suatu aksi.
b.         Bawaan; yaitu karakteristik fisik yang merespons secara konsisten berbagai situasi atau informasi.
c.         Konsep diri; yaitu tingkah laku, nilai atau image seseorang.
d.        Pengetahuan; yaitu informasi khusus yang dimiliki seseorang.
e.        Keterampilan; yaitu kemampuan melakukan tugas secara fisik maupun mental.
Kelima kompetensi tersebut mempunyai implikasi praktis terhadap perencanaan sumber daya manusia atau pendidikan. Keterampilan dan pengetahuan cenderung lebih tampak pada permukaan ciri-ciri seseorang, sedangkan konsep diri, bawaan dan motif lebih tersembunyi dan lebih mendalam serta merupakan pusat kepribadian seseorang. Kompetensi permukaan (pengetahuan dan keterampilan) lebih mudah dikembangkan. Pelatihan merupakan hal tepat untuk menjamin kemampuan ini. Sebaliknya, kompetensi bawaan dan motif jauh lebih sulit untuk dikenali dan dikembangkan.
Dalam konteks Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (dalam Sudrajat: 2008) menyoroti tentang aspek perbedaan dan karakteristik peserta didik, Dikemukakannya, bahwa sedikitnya terdapat lima perbedaan dan karakteristik peserta didik yang perlu diperhatikan dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, yaitu : (1) perbedaan tingkat kecerdasan; (2) perbedaan kreativitas; (3) perbedaan cacat fisik; (4) kebutuhan peserta didik; dan (5) pertumbuhan dan perkembangan kognitif.
3.    Sosial-Budaya
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan. Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan pelaksanaan dan hasil pendidikan. Kita maklumi bahwa pendidikan merupakan usaha mempersiapkan peserta didik untuk terjun ke lingkungan masyarakat. Pendidikan bukan hanya untuk pendidikan semata, namun memberikan bekal pengetahuan, keterampilan serta nilai-nilai untuk hidup, bekerja dan mencapai perkembangan lebih lanjut di masyarakat.
Peserta didik berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik formal maupun informal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan bagi kehidupan masyarakat pula. Kehidupan masyarakat, dengan segala karakteristik dan kekayaan budayanya menjadi landasan dan sekaligus acuan bagi pendidikan.
Dengan pendidikan, kita tidak mengharapkan muncul manusia – manusia yang menjadi terasing dari lingkungan masyarakatnya, tetapi justru melalui pendidikan diharapkan dapat lebih mengerti dan mampu membangun kehidupan masyakatnya. Oleh karena itu, tujuan, isi, maupun proses pendidikan harus disesuaikan dengan kebutuhan, kondisi, karakteristik, kekayaan dan perkembangan yang ada di masyakarakat.
Setiap lingkungan masyarakat masing-masing memiliki sistem-sosial budaya tersendiri yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan antar anggota masyarakat. Salah satu aspek penting dalam sistem sosial budaya adalah tatanan nilai-nilai yang mengatur cara berkehidupan dan berperilaku para warga masyarakat. Nilai-nilai tersebut dapat bersumber dari agama, budaya, politik atau segi-segi kehidupan lainnya.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat maka nilai-nilai yang ada dalam masyarakat juga turut berkembang sehingga menuntut setiap warga masyarakat untuk melakukan perubahan dan penyesuaian terhadap tuntutan perkembangan yang terjadi di sekitar masyarakat.
Israel Scheffer (Sukmadinata, 2006: 60) mengemukakan bahwa melalui pendidikan manusia mengenal peradaban masa lalu, turut serta dalam peradaban sekarang dan membuat peradaban masa yang akan datang. Dengan demikian, kurikulum yang dikembangkan sudah seharusnya mempertimbangkan, merespons dan berlandaskan pada perkembangan sosial – budaya dalam suatu masyarakat, baik dalam konteks lokal, nasional maupun global.
4.    Politik
Wiles Bondi (dalam Sudrajat, 2008) dalam bukunya `Curriculum Development: A Guide to Practice’ turut menjelaskan pengaruh politik dalam pembentukan dan pengembangan kurikulum.
Hal ini jelas menunjukkkan bahwa pengembangan kurikulum dipengaruhi oleh proses politik, kerana setiap kali tampuk pimpinan sesebuah negara itu bertukar, maka setiap kali itulah kurikulum pendidikan berubah.
5.     Pembangunan Negara dan Perkembangan Dunia
Pengembangan kurikulum juga dipengaruhi oleh faktor pembangunan negara dan perkembangan dunia. Negara yang ingin maju dan membangun tidak seharusnya mempunyai kurikulum yang statis. Oleh karena itu kurikulum harus diubah sesuai dengan perkembangan zaman dan kemajuan sains dan teknologi.
Kenyataan tersebut jelas menunjukkan bahwa perkembangan teknologi telah membawa perubahan yang pesat pada kehidupan manusia di muka bumi ini. Oleh karena itu pengembangan kurikulum haruslah sejajar dengan pembangunan negara dan dunia. Kandungan kurikulum pendidikan perlu menitikberatkan pada mata pelajaran sains dan kemahiran teknik atau vokasional kerana tenaga kerja yang mahir diperlukan dalam zaman yang berteknologi dan canggih ini.
6.     Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)
Pada awalnya, ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimiliki manusia masih relatif sederhana, namun sejak abad pertengahan mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai penemuan teori-teori baru terus berlangsung hingga saat ini dan dipastikan kedepannya akan terus semakin berkembang
Akal manusia telah mampu menjangkau hal-hal yang sebelumnya merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Pada jaman dahulu kala, mungkin orang akan menganggap mustahil kalau manusia bisa menginjakkan kaki di bulan, tetapi berkat kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi pada pertengahan abad ke-20, pesawat Apollo berhasil mendarat di Bulan dan Neil Amstrong merupakan orang pertama yang berhasil menginjakkan kaki di Bulan.
Kemajuan cepat dunia dalam bidang informasi dan teknologi dalam dua dasa warsa terakhir telah berpengaruh pada peradaban manusia melebihi jangkauan pemikiran manusia sebelumnya. Pengaruh ini terlihat pada pergeseran tatanan sosial, ekonomi dan politik yang memerlukan keseimbangan baru antara nilai-nilai, pemikiran dan cara-cara kehidupan yang berlaku pada konteks global dan lokal.
Selain itu, dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar(learning to learn) dalam mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi situasi yang ambigu dan antisipatif terhadap ketidakpastian.
Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

D.      Hambatan-hambatan yang Mempengaruhi Pengembangan Kurikulum
Dalam pengembangan kurikulum terdapat beberapa hambatan-hambatan antara lain:
1.     Kurangnya partisipasi guru
2.     Datang dari masyarakat.
3.     Kurang waktu
4.     Kekurang sesuaian pendapat (baik antara sesama guru dengan kepala sekolah dan administrator)
5.     Karena kemampuan dan pengetahuan guru sendiri.
Masyarakat merupakan sumber input dari sekolah, karena keberhasilan pendidikan, ketetapan kurikulum yang dugunakan  membutuhkan bantuan, serta input fakta dari mayarakat.

E.       Penutup
Proses perkembangan kurikulum sebagai sifatnya yang sentiasa berubah turut dipengaruhi oleh faktor-faktor persekitaran yang merangsang reaksi manusia yang terlibat dalam kepentingannya. Hasrat terhadap perubahan kurikulum itu menggambarkan keperluan pendidikan yang menjadi wadah penerus kemajuan bangsa dan negara itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perkembangan kurikulum adalah elemen yang saling berkait antara satu sama lain. Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kurikulum itu sendiri mencerminkan idealisme dan perubahan keperluan masyarakat dan negara, melalui institusi persekolahan yang akan meneruskan kebudayaan.
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, yaitu meliputi:
1.     Pergururan Tinggi
2.     Masyarakat
3.     Sistem Nilai
4.     Filosofis
5.     Psikologis
6.     Sosial-Budaya
7.     Politik
8.     Pembangunan Negara Dan Perkembangan Dunia
9.     Ilmu dan Teknologi (IPTEK)
Faktor-foaktor yang mempengaruhi pengembangan kurikulum, harus menimaliskan faktor yang bersifat negatif. Oleh karena itu bagi pengembang kurikulum diharapkan dapat bekerjasama dengan kelompok lain dan adanya ujicoba agar faktor negatif dapat diminimaliskan.
===== 000 =====

REFERENSI
Chamisijatin, Lisa, dkk. 2008. Pengembangan Kurikulum SD. Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.

Cienurani. 2008. Revisi Kurkulum. (http://cienurani.blog.com/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

Sukmadinata, Nana Syaodih. 2006. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Sudrajat, Akhmad. 2008. Pengembangan Kurikulum (http://istpi. wordpress.com/2008/10/27/pengembangan-kurikulum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).

———-. 2008. Pengertian Kurikulum. (http://akhmadsudrajat.wordpress .com/2008/07/08/pengertian-kurikulum/ diakses pada tanggal 20 Nopember 2008).